Sabtu, 10 Juli 2021

ESAI PERSAMAAN KELIMA CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR

 


Karya sastra Indonesia yang menjadi peminat pembaca yang berbentuk tulisan salah satu, yaitu cerpen. Cerpen singkatan dari cerita pendek merupakan karya sastra yang berbentuk prosa yang memiliki satu alur cerita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerita pendek suatu karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang atau kejadian baik terjadi maupun rekaan.

Bentuk cerita pendek padat dan langsung pada inti cerita tentang kehidupan secara pendek dan singkat. Cerita pendek mempunyai macam jenis kisah, yaitu kisah nyata dan kisah fiksi. Cerita pendek lebih fokus pada suatu kejadian atau lebih spesifik yang terdiri dari pameran karakter. Definisi cerita pendek secara klasik adalah dibaca dengan waktu sekali duduk. Cerita pendek secara panjang tidak lebih dari 20.000 kata.

Ciri-ciri cerita pendek mempunyai ciri khas dalam karya sastra, antara lain :

1. Memiliki sifat fiktif dalam karangan

2. Bentuk cerita pendek tersusun dari tidak lebih 10.000 kata

3. Dapat dibaca dengan waktu sekali duduk

4. Pilihan kata yang digunakan tidak rumit dan dapat dipahami

5. Mempunyai alur tunggal atau hanya satu jalan cerita

6. Penyusunan tulisan cerita pendek berdasarkan kejadian dalam kehidupan

7. Cerita pendek mempunyai pesan moral di dalamnya

Fungsi yang terkandung dalam cerita pendek, antara lain :

1. Fungsi rekreatif untuk penghibur bagi para pembaca

2. Fungsi estetis sebagai nilai estetika yang dapat memberikan rasa puas bagi pembaca

3. Fungsi didaktif untuk memberi pembelajaran bagi para pembaca

4. Fungsi moralitas sebagi nilai moral sehingga pembaca mengetahui mana yang baik dan buruk berdasarkan cerita yang terkandung

5. Fungsi relegiusitas untuk memberi pendidikan religi sehingga dapat menjadi contoh bagi pembaca

Cerita pendek yang akan dikupas, yaitu kumpulan cerpen dari M. Shoim Anwar. M. Shoim Anwar merupakan seorang sastrawan berasal dari Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. M. Shoim Anwar terkenal sebagai cerpenis, selain itu tulisan karyanya berupa bentuk esai sastra. Pendidikan tamatan dari SPG pada tahun 1984, melanjutkan di IKIP Surabaya mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai mendapatkan gelar doktor.

Kumpulan cerita pendek yang dibahas berjudul “Sorot Mata Syaila”, “Tahi Lalat”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, “Jangan ke Istana Anakku”, dan “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”. Persamaan kelima cerita pendek itu mengisahkan tentang kehidupan sosial dan berhubungan dengan wanita. Selain kehidupan sosial ada juga politiknya. Kehidupan dari segi ekonomi semua cerita pendek itu sangat berkecukupan. Bahasa yang digunakan ada yang susah dipahami dan mudah dipahami. Kebanyakan juga menggunakan bahasa sehari-hari. Pilihan kata yang terkandung dalam kelima cerita pendek ada yang menggunakan bahasa kiasan. Sudut pandang dari kelima cerita pendek, yaitu orang pertama tunggal “aku”.

Pada cerita pendek yang berjudul “Sorot Mata Syaila” dan “Tahi Lalat”, memiliki kesamaan bercerita tentang kehidupan berpolitik yang buruk. Kehidupan politik yang buruk, seperti koruptor yang memakai uang rakyat untuk foya-foya. Jika, dalam cerita pendek “Tahi Lalat” tentang Pak Lurah selama berjabat menyebabkan kerugian bagi masyarakat, seperti masyarakat kehilangan tanah, Pak Lurah membuat perumahan mewah dengan harga jual yang tinggi. Tokoh Bu Lurah juga enjadi bahan gunjingan banyak warga di desanya.

Sementara itu cerita pendek yang berjudul “Sorot Mata Syaila” juga mengisahkan kehidupan politik yang bernama Matalir seorang koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. Tokoh yang menjadi koruptor telah melakukan berbagai cara untuk menghindari penyelidikan. Oleh karena itu, bingung juga memikirkan nasib anak istrinya. Kemudian, tidak sengaja bertemu perempuan berhijab yang cantik yang bernama Syaila. Nasibnya sudah terpuruk lalu mencari wanita berhijab itu ternyata tokoh Syaila termasuk mata-mata koruptor.

Ternyata cerita pendek yang berjudul “Jangan ke Istana Anakku”, menceritakan tentang kehidupan politik yang mendiskrinasi HAM. Perlakuan tokoh yang tidak adil, seperti pemaksaan pekerja untuk istana, tidak boleh menolak,apabila melakukan pembangkangan akan dibunuh. Hal seperti ini juga di alami oleh para putri di desa yang diutus menjadi penari sekaligus tumbal. Jika di hubungkan dengan kehidupan nyata, seperti Indonesia. Hal yang tidak memperoleh ketidakadilan HAM, misal seorang anak yang berasal dari golongan orang miskin yang mencuri sandal yangg dihukum sangat berat. Sementara, para pejabat yang melakukan korupsi tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.

Pada cerita pendek yang berjudul “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, menceritakan tentang kehidupan sosial. Dalam cerita pendek tersebut berhubungan dengan perempuan cantik yang menguras harta seorang laki laki berumur. Kehidupan sosial yang terjadi masih relevan dengan jaman sekarang. Nilai yang terkandung dala cerpen tersebut adalah cinta karna harta akan berakhir ditengah jalan.

Cerita pendek yang berjudul "Sepatu Jinjit Aryanti" bercerita tentang lingkungan hidup dan percintaan. Pada cerita ini juga berkaitan dengan perempuan yang cantik bernama Aryanti. Tokoh wanita yang mampu melindungi diri dari seorang laki-laki yang mengajak untuk mandi bersama. Kehidupan seorang perempuan itu tidak bisa bebas dikarenakan menjadi saksi tentang pembunuhan orang penting. Akhir dalam cerita tokoh wanita terbang ke luar negeri.


 

Daftar pustaka :

https://www.gurupendidikan.co.id/cerpen/ 

https://penerbitdeepublish.com/pengertian-cerpen/

https://id.klipingsastra.com/2018/01/.html 

 

 

 

Minggu, 27 Juni 2021

Mengkritik Video Musik

Judul : Mapala (Mama Papa Larang)
Penyanyi asli : Judika
Durasi Video : 03:57
Memperankan dalam video : Mahasiswa 
Sumber : Youtobe (Hudardiri TV)

Mapala (Mama Papa Larang) diciptakan oleh Judika sendiri yang dirilis dalam album Mencari Cinta tahun 2013. Lagu ini mengajak pendengar untuk tidak menyerah dalam mendapatkan restu orang tua. Pada lagu ini menggambarkan seorang laki-laki yang sangat cinta pada kekasihnya. Namun, tidak diperlakukan dengan baik oleh orang tua pasangan. Ibu pasangannya melarang anaknya menjalin hubungan cinta dengan laki-laki tersebut. Ibu pasangannya melarang sang anak alasannya memiliki penilaian tersendiri. Walaupun, dilarang laki-laki itu tidak menyerah dan tidak berpaling hati serta tetap berjuang sampai mati untuk mendapatkan restu kedua orang tua pasangannya.

Hal ini, tergambarkan pada penggalan lirik "Kamu segalanya, tak terpisah oleh waktu. Biarkan bumi menolak, ku tetap cinta kamu. Biar mamamu tak suka, papamu juga melarang. Walau dunia menolak, ku tak takut. Tetap ku katakan ku cinta dirimu." 

Kata bumi dan dunia menjadi sebuah kata kias yang berarti jika hubungan cinta yang tidak disukai oleh siapapun dan apapun laki-laki itu akan memperjuangkan cinta dan berusaha keras untuk mempertahankan sebuah cinta. 

Jadi, amanat yang dapat diambil dari lagu ini janganlah sampai berjuang sendiri dalam hubungan cinta apalagi mempertahakan hubungan sendiri demi mendapatkan restu orang tua. Alangkah baiknya, dalam hubungan harus memiliki keputusan bersama untuk saling mendukung dan saling mepertahankan.

Sudut pandang yang digunakan orang pertama dan orang kedua. Bahasa yang di gunakan dalam lirik lagu tersebut lebih banyak menggunakan bahasa baku. Alunan musik terdengar sangat berat dan menyesakkan dada.

Rabu, 16 Juni 2021

Kritik & Esai Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Karya : Taufik Ismail


I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia 

Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia

Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini 

II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
curang susah dicari tandingan, 

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar
orangtua mereka bersenang hati,

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-
besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak
putus dilarang-larang,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang
saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek
Jakarta secara resmi,

Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,

Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor
pertandingan yang disetujui bersama,

Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,
India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan, 

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

1998

Puisi karya Taufik Ismail cenderung seperti teks narasi. Makna puisi tersebut dihubungkan pada masa Orde Baru berupa protesan tentang akhlak yang tidak baik. Taufik Ismail menciptakan puisi tersebut sebagai sindiran untuk penguasa terhadap ketimpangan sosial pada masyarakat. 
Pilihan kata yang digunakan dalam puisi tersebut pada kalimat :

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Pada kedua baris potongan puisi tersebut memiliki dua makna, yaitu makna konotasi dan makna denotasi. Makna konotasi terdapat pada kata langit, berserak-serak, dan berderak-derak. Kata langit bermakna keteguhan. Kata berserak-serak bermakna tidak karuan. Kata berderak-deral bermakna tiruan bunyi yang patah. Makna denotasi terdapat pada kata akhlak, negeriku, hukum, doyong. Kata akhlak bermakna perilaku. Kata negeriku bermakna tempat tinggal suatu bangsa yang ditempati oleh rakyat. Kata doyong bermakna miring atau condong. Kata hukum bermakna peraturan resmi yang telah disepakati.

Majas yang digunakan majas asosiasi dan hiperbola. Majas asosiasi terdapat pada kalimat :

kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

Pada kalimat tersebut menjadi perbandingan terhadapa kehidupan dengan jarum yang dicari ditumpukan jerami yang bermakna kehidupan harus melewati usaha dan rasa kesabaran. 

Majas hiperbola terdapat pada kalimat : 

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-
besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

Pada cuplikan puisi di atas kata sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat jelas yang menjadi kesan yang berlebihan. 

Rima yang digunakan, yaitu rima awal dan rima akhir.
Rima awal terdapat pada cuplikan puisi sebagai berikut :

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Rima akhir terdapat pada cuplikan puisi sebagai berikut : 

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 

Tipografi yang digunakan dalam puisi tersebut, yaitu menggunakan huruf kapital di setiap awal larik dan ada yang menggunakan tanda baca.
Kelebihan dalam puisi tersebut pada pilihan kata yang lugas dan estetik serta mudah dipahami.

Minggu, 06 Juni 2021

Kritik dan Esai Cerpen Setan Banteng

Setan Banteng
Karya : Seno Gumira Ajidarma 



Pada jam istirahat, akan terlihat serombongan anak laki-laki membentuk kerumunan tersendiri.
“Siapa yang berani?” pemimpin rombongan itu bertanya.
      Anak-anak kelas VI sekolah dasar itu hanya saling memandang, bahkan ada yang mundur seperti ada sesuatu yang mengancamnya, tetapi ada yang menjawab tantangan itu.
“Aku!”
     Selalu begitu. Sejak masa kanak-kanak pun sudah terbagi: ada yang pemberani, ada yang selalu ketakutan, ada yang penuh perhitungan dan lihat-lihat dulu.
     Lantas, dengan kapur putih, salah seorang dari anak-anak itu cukup menggambar di lantai, atau kalau tidak ada kapur bisa menggunakan patahan ranting, menggurat di tanah gambaran seperti ini:
“Sudah,” katanya kepada pemimpin rombongan.
    Pemimpin rombongan itu menoleh ke arah anak pemberani tadi, sambil menunjuk ke arah gambar yang terbentuk di atas tanah berpasir di dekat tembok samping sekolah.
“Ayo!” katanya dengan nada perintah.
     Anak yang badannya paling besar itu pun maju mendekati gambar, menekuk lutut, mengarahkan kepala ke arah gambar seperti mau bersujud. Namun anak itu tidak bersujud, ketika wajahnya mendekati gambar jari-jari tangannya membentuk lingkaran di depan kedua mata, seperti orang yang berpura-pura memegang teropong.
    Masih seperti mau bersujud, tubuhnya menekuk dengan jari-jari tangan melingkar di depan mata sampai tepat berhadapan dengan gambar makhluk bertanduk yang dimaksudkan sebagai banteng itu. Melalui jari-jari tangannya yang melingkar di depan mata itu, terhubunglah matanya dengan mata banteng.
    Semua anak terdiam memperhatikan. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik, enam detik...
    Pada saat itulah aku, Setan Banteng, terpanggil dan berkelebat merasuki jiwanya. Ia bangkit, perlahan tapi penuh ancaman. Tangannya sekarang lurus kencang dan mengepal. Ketika menoleh, matanya sudah menyala, wajahnya merah, dan dari hidungnya keluarlah dengusan amarah. Ya, aku, Setan Banteng, telah merasuki jiwa anak itu dan mengubahnya jadi banteng, meski tubuhnya masih anak kecil.
     Ia membalikkan tubuh sepenuhnya dengan mata tersorot tajam. Kakinya menyepak-nyepak ke belakang bergantian, lantas menyerang salah satu sisi kerumunan dengan kepala agak tertunduk, seperti pada kepala itu terdapat sepasang tanduk. Banteng itu menyeruduk.
    Kerumunan itu langsung bubar, dan semua anak berlari ke segala arah sambil tertawa-tawa melihat temannya telah kerasukan Setan Banteng. Sebagaimana layaknya banteng yang mengamuk, aku pun menyeruduk. Tiada lagi jiwa anak itu, yang ada hanya diriku, Setan Banteng yang menjelmakan dirinya sebagai banteng yang murka dalam permainan manusia.
    Sebagaimana banteng, otaknya tidaklah secerdas manusia, meski manusia-manusia kecil yang masih ingusan sekalipun. Aku menyeruduk ke sana dan menyeruduk ke mari, karena setiap kali kukejar seorang anak yang berlari kencang sambil tertawa-tawa antara senang dan takut itu, cepat sekali dia menghilang, dan aku pun segera memburu anak-anak lain yang tampak di sekitarku.
      Hiruk-pikuk dan riang gembira, begitulah permainan kanak-kanak yang memanfaatkan Setan Banteng ini, dan tentu aku menyeruduk tanpa pandang bulu. Segala sesuatu yang berada di jalur larinya anak itu kuseruduk saja tanpa kubeda-bedakan. Apakah itu anak-anak lain yang menonton dari kejauhan, anak-anak perempuan yang sedang main bèkel, ibu guru berkain kebaya yang sedang membawa map, bahkan ketika anak yang kukejar masuk ke ruang latihan paduan suara untuk keluar dari pintu lainnya, tetap kukejar juga dengan tangan lurus mengepal dan kepala yang seolah-olah memang ada tanduknya.
      Aku pun tetap menyeruduk meski yang berada di jalur itu adalah para penjual es dawet, gulali yang bentuknya setelah ditiup menjadi bermacam-macam binatang, arum manis, maupun gambar umbul, karena anak yang kukejar dengan lincahnya memang sengaja melewatinya, agar aku menabrak mereka!
     Segalanya berantakan. Anak perempuan menjerit-jerit meski tidak takut kepada apa pun, selain khawatir akan nasib kawan mereka yang kukejar maupun yang sedang kurasuki itu. Dengan tubuh yang agak lebih besar, anak yang kurasuki memang pantas menjadi banteng. Kedua bahunya menjadi tampak lebih kukuh, mata mendelik, wajah memerah, dan dengusnya sungguh-sungguh seperti banteng memburu lawan. Segalanya kuterabas!
     Apabila kemudian semua orang sudah tidak dapat kulihat, karena memang semuanya menghindar dan bersembunyi, dan hanya tersisa dinding tembok sekolah yang kokoh, maka dengan sepenuh tenaga ke sanalah kepala anak sekolah dasar yang sesungguhnyalah tidak bertanduk ini menuju.
     Tidak akan menjadi masalah bagiku jika kepala anak itu pecah. Sebagai setan, aku hanya akan melayang kembali ke langit para setan, bergabung dengan setan-setan lainnya, sampai ada lagi yang memanggil Setan Banteng demi permainan banteng mengamuk yang mengasyikkan, tetapi yang bisa sangat berbahaya ini.
     Bagaimana kalau kepalanya pecah? Tentu darahnya abyor membentuk bunga merah darah di tembok. Kadang tampak indah seperti karya seni, tetapi tentu sebetulnya mengerikan-yang terpenting, ini bukanlah tanggung jawabku. Aku hanyalah Setan Banteng yang tidak berdaya menolak panggilan. Bahkan diciptakan untuk menerima panggilan itu! Apakah anak ini akan pecah kepalanya?
Namun seorang guru laki-laki mendadak muncul di belakangnya, dan menepuk punggung anak itu dengan sangat keras sebelum kepalanya membentur tembok. Anak itu pun terjatuh. Aku lepas dari tubuhnya, sebagaimana dengan cara itu tugasku dengan sendirinya berakhir.
“Hooooiii!” Guru itu berteriak dan memperlihatkan sikap marah, “Jangan main-main kalian! Ini berbahaya! Ngawur! Apa tidak ada permainan lain selain bermain dengan setan?”
Aku sudah pindah ke langit sebelah, tetapi tetap dapat kulihat anak-anak di tempat persembunyian yang menutupi mulutnya sambil menahan tawa.
Anak itu sendiri, yang tadinya tersungkur, berbalik dan mengusap mata bagaikan baru terbangun dari tidur. Guru, yang tampaknya mengerti belaka permainan semacam ini, mengangkatnya bangun dan merangkul bahunya.
Terdengar bel berbunyi.
“Ayo masuk kelas!” Teriaknya lagi, “Mau jadi ilmuwan macam apa kalian?”
Lantas suaranya merendah, seperti bicara untuk dirinya sendiri.
“Sejak kecil sudah bermain setan…”


Pondok Ranji – Katulampa, 17-18 Desember 2018

  Cerpen yang berjudul "Setan Banteng" karya Seno Gumira Ajidarma. Lahir pada Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Profesi beliau menjadi penulis, fotografer, wartawan, dan kritikus film Indonesia. Pendidikan terakhir Doktor Ilmu Sastra tahun 2005 di Universitas Indonesia. Beliau mendapatkan empat penghargaan, pasangannya bernama Ikke Susilowati dan anak bernama Timur Angin. Seno Gumira Ajidarma putra dari Prof. Dr. M. S. A Sastroamidjojo, guru besar Fakultas FMIPA di Universitas Gadjah Mada.
  Sekarang akan mengumpas tentang salah satu cerpen karyanya dalam dua unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur Intrinsik :
Tema yang dapat diambil dari cerpen tersebut, yaitu permainan yang bahaya. Alur yang digunakan mundur. Tokoh utama dalam cerpen tersebut menggunakan tokoh Aku, sedangkan tokoh pembantu ibu guru dan bapak guru. Karakter dalam tokoh aku itu sangat kuat berani dan jahil. Sudut pandang yang digunakan, yaitu orang pertama dan orang ketiga tunggal. 
Latar :
 Latar tempat : Sekolah 
" Anak-anak kelas VI sekolah dasar itu hanya saling memandang, bahkan ada yang mundur seperti ada sesuatu yang mengancamnya, tetapi ada yang menjawab tantangan itu."
Latar suasana : gembira
" Hiruk-pikuk dan riang gembira, begitulah permainan kanak-kanak yang memanfaatkan Setan Banteng ini, dan tentu aku menyeruduk tanpa pandang bulu. Segala sesuatu yang berada di jalur larinya anak itu kuseruduk saja tanpa kubeda-bedakan. Apakah itu anak-anak lain yang menonton dari kejauhan, anak-anak perempuan yang sedang main bèkel, ibu guru berkain kebaya yang sedang membawa map, bahkan ketika anak yang kukejar masuk ke ruang latihan paduan suara untuk keluar dari pintu lainnya, tetap kukejar juga dengan tangan lurus mengepal dan kepala yang seolah-olah memang ada tanduknya."
Gaya Bahasa :
Gaya bahasa yang digunakan majas metafora. Majas metafora yang menarik dalam cerpem tersebut, yaitu   " Bagaimana kalau kepalanya pecah? Tentu darahnya abyor membentuk bunga merah darah di tembok. Kadang tampak indah seperti karya seni, tetapi tentu sebetulnya mengerikan-yang terpenting, ini bukanlah tanggung jawabku. Aku hanyalah Setan Banteng yang tidak berdaya menolak panggilan. Bahkan diciptakan untuk menerima panggilan itu! Apakah anak ini akan pecah kepalanya?"
 
Tokoh aku dalam cerpen tersebut ternyata hantu yang memasuki tubuh anak kecil tersebut. Kelebihannya seolah-olah si pembaca masuk ke dalam suasana cerita tersebut. Kekurangannya terlalu banyak perumpanan, membuat si pembaca terkadang susah memahami maksud dari pengarang. 

Minggu, 30 Mei 2021

Mengkritik "Sajak Palsu"

Sajak Palsu (Agus R. Sarjono)

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu.
Lalu mereka pun belajar sejarah palsu dan buku-buku palsu.
Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu.
Karena tak cukup nilai, maka berdatanglah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop, berisi perhatian dan rasa hormat palsu.
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu,
akhirnya pak guru dan ibu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru.
Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu,
ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu .

Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.
Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu.
Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu
dengan ekspor dan impor palsu
yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu,
tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan izin dan surat palsu
kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu.
Masyarakat pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu.
Maka  uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu,
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintahan palsu
ke dalam nasib buruk palsu.
Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu
dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu
di tengah seminar dan dialog-dialog palsu
menyambut tibanya demokrasi palsu
yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu

Agus R. Sarjono seorang sastrawan Indonesia. Lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Alumni Universitas Indonesia. Beliau terkenal dengan penyair, novelis, dan penulis esai sastra. Karya-karya sudah ada yang dipentaskan di luar negeri. Pada "Sajak Palsu" berbentuk seperti cerita dan tidak berbait terpisah-pisah. Makna dalam puisi menceritakan tentang kehidupan di negara ini yang penuh dengan kepalsuan. Kepalsuan yang tergambarkan dengan tokoh guru. Diksi yang digunakan sangat mudah dipahami. Amanat yang dapat diambil adalah penyair berharap kepalsuan berubah menjadi kejujuran. 

Sabtu, 22 Mei 2021

Menulis Kritik dan Esai Puisi Widji Thukul

 Puisi Wiji Thukul

 

         PERINGATAN

 

Jika rakyat pergi

 

Ketika penguasa pidato

 

Kita harus hati-hati

 

Barangkali mereka putus asa

 

Kalau rakyat bersembunyi

 

Dan berbisik-bisik

 

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

 

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

 

Bila rakyat berani mengeluh

 

Itu artinya sudah gasat

 

Dan bila omongan penguasa

 

Tidak boleh dibantah

 

Kebenaran pasti terancam

 

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

 

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

 

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

 

Maka hanya ada satu kata: lawan!

 

 

 

                  Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu

Apa guna punya ilmu

 

Kalau hanya untuk mengibuli

 

Apa gunanya banyak baca buku

 

Kalau mulut kau bungkam melulu

 

Di mana-mana moncong senjata

 

Berdiri gagah

 

Kongkalikong


Dengan kaum cukong

 

Di desa-desa

 

Rakyat dipaksa

 

Menjual tanah

 

Tapi, tapi, tapi, tapi

 

Dengan harga murah

 

Apa guna banyak baca buku

 

Kalau mulut kau bungkam melulu

 

Wiji Thukul terlahir di Kabupaten Solo pada tanggal 26 Agustus 1963. Wiji Thukul anak tertua dari tiga bersaudara. Sejak SD sajak-sajak puisi mulai terbentuk dan masuk ke seni teater pada masa SMP. Bukan hanya seorang sastrawan, ia juga seorang aktivis HAM yang sering berurusan dengan demontrasi. Puisi “Peringatan” diciptakan pada tahun 1986 memiliki empat bait setiap bait ada empat baris. Pada puisi “Peringatan” sebagai penyampaian suatu kritikan. Makna dari puisi tersebut adalah seorang yang memiliki kekuasaan yang merampas keadilan di negara ini. Diksi dalam puisi setiap katanya mudah dipahami. Pada kalimat “maka hanya ada satu kata : lawan!” dari kata ini dapat menjelaskan untuk memberontak. Puisi-puisi karyanya menggambarkan bahwa tidak pernah takut kepada penguasa yang merendahkan kaum di negara ini. Ternyata diksi dalam puisi tersebut ada kata dari bahasa Rumania “subversif” yang berarti memberontak kekuasaan.

 

Makna pada puisi Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu berarti seseorang yang memiliki ilmu tidak dapat digunakan dengan baik dan tidak dapat menegakkan suatu kebenaran. Pembuktiannya terdapat pada kalimat

Apa gunanya banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

Puisi tersebut ditunjukan untuk sindirian kepada para orang-orang kaya yang suka menindas rakyat. Pada puisi ini juga menggunakan bahasa Rumania pada kata “cukong”.

Minggu, 16 Mei 2021

Menulis Kritik dan Esai Puisi Idul Fitri Karya Sutardji Calzoum Bachri

Idul Fitri

Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana


Sutardji Calzoum Bachri seorang sufi Indonesia. Beliau terlahir di Rengat Riau, 24 Juni 1941. Beliau menjadi cerpenis, eseis, dan budayawan. Banyak kumpulan puisi yang diciptakan. Kali ini, membahas tentang puisinya yang berjudul Idul Fitri pada tahun 1987. Sesuai sekali dengan bulan ini, bulan penuh kesucian dan ampunan. Sebelum lebaran tiba banyak orang yang beragam muslim menunaikan ibadah puasa Ramadhan sampai 30 hari dan disambut dengan hari kemenangan, yaitu Hari Ramadhan. Pada puisi tersebut, menggambarkan tentang proses  jalannya fitrah manusia dari hal yang buruk menjadi hal yang baik. Sebelum menyabut ramadhan tiba, menegakkan shalat malam, shalat wirid, dan puasa. Penuh dengan hikmah dan keikhlasan untuk mendapatkan Lailatul Qadar. Lebaran telah tiba, disambut dengan shalat id, diselenggarakan di lapangan. 
Penyair membuat puisi ini untuk mengingat pembaca tentang jalan spritual menuju pencerahan untuk membangun kejiwaan diri. Puisi ini sangat mudah dipahami. 

ESAI PERSAMAAN KELIMA CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR

  Karya sastra Indonesia yang menjadi peminat pembaca yang berbentuk tulisan salah satu, yaitu cerpen. Cerpen singkatan dari cerita pendek m...