Pada kali mengkritik dan esai pada ketiga puisi milik Mashuri, sebagai berikut :
PUISI MASHURI
Puisi 1
Hantu Kolam
: plung!
di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayangkan rumpang
mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar dada, menapak jejak luka yang sama di medan lama
segalangnya angin, serupa musim yang dicerai matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…
“plung!”
aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak
Banyuwangi, 2012-12-03
Berdasarkan puisi di atas menggambar tokoh “Aku” dalam suasana tertidur dan bermimpi terdapat pada bait terakhir yang menyatakan bahwa “aku hanya melihat wajah sendiri, berserak”dapat diartikan bahwa tokoh aku sedang melihat dirinya sedang bangun dari tidurnya dalam keadaan berantakan. Mimpinya tokoh aku mulai terputus saat matahari mulai muncul. Suasana dalam puisi ini sedih terdapat pada aku “terkubur sendiri di bawah timbunan rembulan segalanya tertemali sunyi” aku merasa sendiri dan termenung. Sesuai dengan judul yang "Hantu Kolam" hantu merupakan arwah seseorang yang meninggal atau sosok yang tak terlihat. Jika digambarkan bahwa kesendirian yang dialami oleh tokoh aku disamakan dengan sosok hantu atau sosok arwah. Suasana yang dirasakan aku tidak ada yang mengetahuinya. Puisi Hantu Kolam memiliki enam bait. Penggunaan iramanya a-b-a-b. Puisi ini agak sulit dipahami dan seharusnya setiap baris di setiap bait harus menggunakan huruf kapital di setiap awal kata.
Hantu Musim
aku hanya musim yang dikirim rebah hutan
kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga
unggas – yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa
bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh
di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…
Magelang, 2012
Puisi 3
Hantu Dermaga
Mimpi, puisi dan dongeng
Yang terwarta dari pintumu
Memanjang di buritan
Kisah itu tak sekedar mantram
Dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
Ia serupa pendulum
Yang dikulum cenayang
Dermaga
Ia hanya titik imaji
Dari hujan yang berhenti
Serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
Tertambat di terminal awal
Tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
Dalam kematian, mungkin kelahiran
Kedua
Segalanya mengambang
Bak hujan yang kembali
Merki pantai
Telah berpindah dan waktu pergi
Menjaring darah kembali
Sidoarjo, 2012
Berdasarkan puisi ketiga di atas kata hantu diibaratkan sosok kapal yang berlayar di atas lautan. Suasana yang tergambarkan, yaitu tentang keadaan kapal yang melakukan rutinitasnya di lautan. Kali ini puisi ketiga memiliki dua bait.Masih sama dengan puisi pertama berirama a-b-a-b. Kekurangnnya sama masih sulit dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
https://puisikompas.wordpress.com/tag/mashuri/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar